Uncategorized

Yusril Ungkap Status Empat Pulau Masuk Sumut Belum Final

Polemik Batas Wilayah dan Status Empat Pulau

Pernyataan terbaru dari pakar hukum tata negara sekaligus Ketua Umum Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, mengenai status empat pulau yang dikabarkan masuk ke dalam wilayah Sumatera Utara (Sumut), kembali memicu diskusi di ranah publik dan pemerintahan. Yusril menegaskan bahwa status keempat pulau tersebut masih belum final secara hukum dan administrasi. Hal ini menjadi penting mengingat batas wilayah administrasi antardaerah merupakan isu krusial dalam tata kelola pemerintahan dan kedaulatan wilayah.

Isu mengenai penggabungan atau pemindahan wilayah administratif sering kali menimbulkan gesekan antara pemerintah provinsi, kabupaten, bahkan masyarakat lokal. Empat pulau yang dimaksud kabarnya sempat diklaim masuk wilayah Sumatera Utara, padahal sebelumnya berada dalam cakupan wilayah administratif Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Klaim tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai mekanisme penetapan batas wilayah serta keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut.

Klarifikasi Yusril: Belum Ada Keputusan Hukum Final

Proses Administratif Masih Berjalan

Menurut Yusril, proses pemetaan dan pengaturan batas wilayah antarprovinsi, termasuk di wilayah Aceh dan Sumatera Utara, harus melalui tahapan yang panjang dan melibatkan banyak instansi seperti Kemendagri, pemerintah daerah setempat, serta Badan Informasi Geospasial (BIG). Ia menekankan bahwa klaim Sumatera Utara atas empat pulau tersebut belum memiliki dasar hukum yang kuat karena belum adanya keputusan final dari pemerintah pusat.

“Status keempat pulau itu belum final. Perlu dipastikan bahwa semua proses telah memenuhi aspek hukum, administrasi, serta mempertimbangkan aspirasi masyarakat lokal,” ungkap Yusril dalam sebuah pernyataan resmi.

Yusril Ingatkan Soal Prinsip Otonomi Daerah

Sebagai seorang ahli hukum tata negara, Yusril juga mengingatkan pentingnya prinsip otonomi daerah dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses penetapan batas wilayah. Ia menyoroti bahwa pemindahan wilayah administratif tanpa konsultasi publik bisa menimbulkan masalah sosial-politik jangka panjang, termasuk penolakan dari warga, ketidakpuasan, hingga potensi konflik horizontal.

“Penetapan batas wilayah bukan hanya soal peta dan koordinat. Ini juga soal identitas, akses layanan publik, serta kedaulatan rakyat dalam wilayah tertentu,” ujar Yusril.

Latar Belakang Kasus: Sengketa Wilayah di Pesisir Barat

Pulau-pulau yang Dipermasalahkan

Empat pulau yang menjadi pusat perhatian ini adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Babi. Keempatnya selama ini dikenal berada dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil. Namun, belakangan dalam sejumlah peta yang dikeluarkan pemerintah pusat dan Provinsi Sumatera Utara, pulau-pulau itu terlihat masuk dalam batas administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.

Pihak Pemerintah Aceh dan masyarakat lokal pun mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses revisi peta tersebut. Bahkan dalam berbagai kesempatan, mereka menegaskan bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian integral dari Provinsi Aceh, khususnya Aceh Singkil, baik secara sejarah, sosial, maupun administratif.

Respons Pemerintah Aceh

Pemerintah Aceh pun segera merespons kabar tersebut dengan tegas. Gubernur Aceh melalui pernyataan resminya menyatakan keberatan dan meminta Kemendagri untuk mengklarifikasi peta batas wilayah terbaru yang menimbulkan kerancuan tersebut. Pemprov Aceh bahkan berencana untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) apabila tidak ada penyelesaian administratif yang adil.

“Ini bukan sekadar garis di peta, tapi menyangkut wilayah, sumber daya alam, dan akses masyarakat terhadap hak-hak dasar mereka,” ujar salah satu pejabat Pemprov Aceh.

Reaksi dari Sumatera Utara

Pemprov Sumut Klaim Berdasarkan Peta Resmi

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menyatakan bahwa peta yang menunjukkan empat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Sumut merujuk pada dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah pusat. Mereka menyebut tidak ada niat mencaplok wilayah lain, melainkan hanya mengacu pada hasil revisi peta batas wilayah oleh Kementerian Dalam Negeri dan BIG.

Namun demikian, Pemprov Sumut juga menyatakan keterbukaannya terhadap dialog dan mediasi. Mereka tidak ingin persoalan batas wilayah ini menjadi pemicu ketegangan antara dua provinsi yang selama ini dikenal hidup berdampingan.

Pendapat Tokoh Lokal

Beberapa tokoh masyarakat dan adat dari Sumut menilai bahwa sebaiknya pemerintah pusat turun tangan langsung dalam menyelesaikan persoalan ini. Mereka berharap agar tidak ada keputusan sepihak yang justru dapat menimbulkan gesekan antarwarga di lapangan.

“Kita semua bersaudara. Jangan sampai soal batas wilayah ini merusak keharmonisan masyarakat di perbatasan,” ujar seorang tokoh masyarakat Tapanuli Tengah.

Mekanisme Penetapan Batas Wilayah di Indonesia

Mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014

Penetapan dan pengelolaan batas wilayah antar daerah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu prinsip utama dalam UU ini adalah bahwa perubahan batas daerah harus dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara daerah yang bersangkutan dan pemerintah pusat, serta disahkan dalam bentuk regulasi resmi.

Yusril menilai bahwa dalam kasus ini, jika belum ada persetujuan tertulis antara Provinsi Aceh dan Sumut, maka status pulau-pulau itu tidak bisa dianggap final masuk ke dalam salah satu provinsi.

Peran BIG dan Kemendagri

Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama Kementerian Dalam Negeri berperan besar dalam memverifikasi batas-batas wilayah administratif. BIG menyediakan peta dasar yang akurat, sedangkan Kemendagri melalui Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan melakukan koordinasi antar daerah.

Keterlibatan dua lembaga ini diharapkan bisa mempercepat penyelesaian konflik batas wilayah, namun sering kali juga tersendat karena adanya perbedaan interpretasi di lapangan dan lemahnya komunikasi antar pemerintah daerah.

Dampak Sosial dan Ekonomi bagi Masyarakat

Ketidakpastian Akses Layanan Publik

Bagi masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah perbatasan, ketidakjelasan status administrasi wilayah dapat menimbulkan kebingungan dalam akses pelayanan publik. Mereka bisa mengalami masalah dalam hal administrasi kependudukan, pendidikan, kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur yang sering kali tersendat karena ketidakjelasan siapa yang bertanggung jawab secara administratif.

Potensi Konflik dan Politisasi

Persoalan batas wilayah juga rentan dijadikan alat politisasi, terutama menjelang pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum. Yusril mengingatkan bahwa semua pihak harus menahan diri dan tidak menjadikan isu ini sebagai komoditas politik karena menyangkut kehidupan banyak orang.

“Jangan sampai status empat pulau ini dipolitisasi demi kepentingan jangka pendek. Kita butuh keputusan hukum yang adil dan berdasar,” katanya.

Langkah Penyelesaian yang Direkomendasikan

Mediasi Antar Provinsi

Salah satu langkah strategis yang disarankan oleh banyak pihak, termasuk Yusril, adalah mengedepankan mediasi antara Pemprov Aceh dan Sumatera Utara. Mediasi ini sebaiknya difasilitasi oleh pemerintah pusat agar lebih obyektif dan dapat menghasilkan keputusan yang disepakati bersama.

Kajian Sejarah dan Sosial Budaya

Selain kajian hukum dan geospasial, penting juga untuk dilakukan kajian sejarah dan sosial budaya. Apakah secara historis keempat pulau tersebut lebih banyak berhubungan dengan Aceh atau Sumatera Utara? Bagaimana hubungan adat, bahasa, hingga aktivitas ekonomi masyarakat di sana?

Kajian ini akan memperkuat landasan dalam pengambilan keputusan, tidak semata-mata berdasarkan garis batas di atas kertas.

Keterlibatan Masyarakat Lokal

Yusril juga menekankan bahwa masyarakat lokal harus dilibatkan secara langsung dalam proses penetapan batas wilayah. Mereka yang tinggal di daerah tersebut harus menjadi aktor utama karena merekalah yang akan terdampak langsung.

Dialog publik, konsultasi masyarakat, hingga referendum lokal (jika diperlukan), bisa menjadi opsi untuk menjamin keputusan yang adil dan inklusif.

Penutup: Menunggu Keputusan Pemerintah Pusat

Polemik status empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara kembali menjadi sorotan setelah pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan bahwa status tersebut belum final. Dalam sistem negara hukum, kejelasan administratif dan landasan legal formal adalah fondasi utama dalam pengelolaan wilayah. Maka, semua pihak diharapkan menahan diri dan tidak mengambil langkah sepihak sebelum ada keputusan resmi dari pemerintah pusat.

Yusril telah memberikan sinyal bahwa permasalahan ini tidak bisa dianggap sepele dan memerlukan pendekatan menyeluruh — hukum, sosial, budaya, dan politik. Di tengah dinamika otonomi daerah dan semangat persatuan, Indonesia memerlukan solusi yang bijaksana agar tidak hanya menyelesaikan sengketa administratif, tetapi juga memperkuat integrasi nasional.

Related Articles

Back to top button