Ketua Adat: Bukan Orang Papua yang Dukung Tambang Nikel Satu Meja

Pendahuluan: Pertarungan Antara Investasi dan Identitas
Dalam beberapa tahun terakhir, tanah Papua kembali menjadi sorotan nasional dan internasional, bukan hanya karena kekayaan alamnya, tetapi karena konflik yang melingkupinya. Isu terbaru yang mencuat adalah penolakan terhadap rencana pembangunan tambang nikel oleh perusahaan yang disebut-sebut telah menggelar “pertemuan satu meja” bersama tokoh masyarakat Papua.
Namun, Ketua Adat dari wilayah terdampak, dengan tegas menyatakan bahwa perwakilan dalam pertemuan tersebut bukanlah orang Papua, dan sama sekali tidak memiliki mandat dari masyarakat adat. Ini bukan hanya masalah representasi, melainkan juga soal penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, kedaulatan atas tanah leluhur, dan masa depan lingkungan hidup Papua.

Tanah Papua dan Kekayaan Alamnya
Sumber Daya yang Melimpah
Papua adalah rumah bagi kekayaan alam luar biasa. Dari emas, tembaga, hingga nikel—komoditas yang kini menjadi primadona dalam transisi energi global. Nikel sangat dibutuhkan dalam produksi baterai kendaraan listrik. Permintaan global terhadap nikel membuat tanah Papua menjadi incaran para investor pertambangan, baik domestik maupun internasional.
Namun, kekayaan ini sekaligus menjadi kutukan. Investasi yang masuk sering kali mengabaikan aspek sosial dan budaya masyarakat adat, serta mengancam kelestarian lingkungan yang selama ribuan tahun menjadi bagian dari identitas dan kehidupan masyarakat Papua.
Siapa yang Diuntungkan?
Dalam praktiknya, eksploitasi sumber daya alam di Papua lebih banyak menguntungkan pihak luar. Masyarakat adat, yang seharusnya menjadi pemilik sah tanah tersebut, justru menjadi korban. Hutan digunduli, sungai tercemar, dan ruang hidup mereka terganggu. Ketika masyarakat adat menolak tambang, sering kali mereka dianggap anti pembangunan atau bahkan dipolitisasi sebagai ancaman keamanan.

Padahal, yang mereka minta sederhana: dilibatkan dalam keputusan yang menyangkut hidup mereka sendiri. Dalam konteks inilah, pernyataan Ketua Adat bahwa yang hadir dalam pertemuan satu meja bukanlah orang Papua menjadi penting dan menggugah kesadaran publik.
Ketua Adat Angkat Suara: “Itu Bukan Perwakilan Kami”
Klarifikasi yang Menggugah
Pernyataan Ketua Adat yang menyebut bahwa “yang dukung tambang bukan orang Papua” muncul sebagai respons terhadap klaim perusahaan tambang bahwa mereka telah mendapat restu dari tokoh-tokoh lokal. Dalam pertemuan “satu meja” yang digelar di kota besar, sejumlah orang hadir dan menyatakan dukungan terhadap proyek tambang.
Namun Ketua Adat dari wilayah yang akan terdampak langsung membantah keras. Menurutnya, orang-orang yang duduk dalam pertemuan itu tidak dikenal sebagai pemangku adat setempat, tidak berasal dari komunitas yang akan terdampak, dan tidak pernah berkomunikasi atau berkonsultasi dengan masyarakat.
Pernyataan ini bukan hanya bantahan administratif, melainkan bentuk perlawanan terhadap praktik pemalsuan representasi yang sering terjadi dalam proyek-proyek investasi di Papua.
Praktek Manipulatif dalam Pembangunan
Sayangnya, peristiwa semacam ini bukan yang pertama. Dalam banyak proyek infrastruktur dan pertambangan di Papua, perusahaan kerap menampilkan “perwakilan masyarakat” yang sesungguhnya tidak memiliki legitimasi adat. Mereka hanya dijadikan alat untuk mengesahkan proyek yang sebetulnya ditolak oleh komunitas asli.

Manipulasi ini menimbulkan luka mendalam dalam hubungan antara masyarakat adat, pemerintah, dan korporasi. Proyek yang diawali dengan kebohongan akan melahirkan konflik yang berkelanjutan.
Adat dan Hak Kolektif
Masyarakat Papua hidup dalam struktur sosial berbasis adat yang kuat. Keputusan penting, seperti menyerahkan tanah ulayat untuk kepentingan ekonomi, tidak bisa diambil secara individu. Ia harus melalui musyawarah dan persetujuan kolektif.
Karena itu, ketika individu tertentu menyatakan dukungan atas nama masyarakat, tanpa mekanisme adat yang sah, hal itu dianggap sebagai pelanggaran berat. Ketua Adat menegaskan bahwa tanah adalah roh kehidupan, dan tidak bisa dijual begitu saja demi janji-janji kesejahteraan yang sering kali tidak terealisasi.
Tambang Nikel: Antara Janji dan Kenyataan
Janji Lapangan Kerja dan Kesejahteraan
Perusahaan tambang kerap datang dengan janji: lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, dan perputaran ekonomi. Di atas kertas, hal ini memang terlihat menarik. Namun realitas di lapangan sering kali jauh dari ekspektasi.
Di banyak wilayah Indonesia, termasuk Papua, dampak sosial dari pertambangan lebih dominan daripada manfaatnya. Ketimpangan sosial meningkat, konflik antarwarga merebak, dan masyarakat lokal sering hanya menjadi buruh kasar dengan upah rendah.
Kerusakan Lingkungan yang Tak Tertanggungkan
Tambang nikel, khususnya tambang terbuka, membawa dampak ekologis yang signifikan. Hutan dibabat, tanah dikeruk, sungai tercemar logam berat, dan kehidupan flora-fauna pun terganggu. Bagi masyarakat adat yang sangat bergantung pada alam, ini adalah bencana ekologis sekaligus bencana budaya.
Di Papua, tanah bukan sekadar sumber ekonomi. Ia adalah bagian dari identitas, bagian dari hubungan spiritual dengan leluhur. Kerusakan atas tanah berarti kerusakan atas hubungan kosmis yang telah terbangun selama ratusan generasi.
Masyarakat Adat Melawan
Bentuk Perlawanan dari Akar Rumput
Penolakan terhadap tambang nikel di Papua tidak hanya datang dari para pemimpin adat. Masyarakat, termasuk perempuan, anak muda, dan tokoh gereja, turut menyuarakan ketidaksetujuan mereka. Mereka melakukan aksi damai, membuat petisi, hingga menggalang dukungan dari organisasi nasional dan internasional.
Media sosial menjadi alat penting dalam menyebarkan informasi, mengungkap kebohongan, dan memperkuat solidaritas. Dengan keberanian yang luar biasa, mereka mempertaruhkan nyawa demi menjaga tanah leluhur.
Advokasi Hukum dan Internasional
Beberapa komunitas adat juga menempuh jalur hukum, baik di pengadilan nasional maupun melalui mekanisme HAM internasional. Mereka melaporkan pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran hukum adat, dan pelanggaran atas prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC).
FPIC adalah prinsip internasional yang menyatakan bahwa masyarakat adat harus diberi informasi secara lengkap, tanpa tekanan, dan diberi hak untuk menyetujui atau menolak proyek di tanah mereka. Namun prinsip ini sering diabaikan di Papua.
Dukungan dari Organisasi Sipil
Organisasi masyarakat sipil, baik lokal maupun internasional, turut memberikan pendampingan kepada masyarakat Papua. Mereka membantu dalam dokumentasi kasus, pelatihan hukum, hingga menghubungkan masyarakat dengan jaringan solidaritas global.